Minggu, 14 Oktober 2012

sejarah berdirinya kota pontianak

Kota Pontianak adalah ibu kota Provinsi Kalimantan Barat di Indonesia. Kota ini juga dikenal dengan nama 坤甸 (Pinyin: Kūndiān) oleh etnis Tionghoa di Pontianak.
Kota ini dikenal sebagai Kota Khatulistiwa karena dilalui garis lintang nol derajat bumi. Di utara kota ini, tepatnya Siantan, terdapat Tugu Khatulistiwa yang dibangun pada tempat yang dilalui garis lintang nol derajat bumi. Selain itu, Kota Pontianak juga dilalui Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia dan Sungai Landak. Sungai Kapuas dan Nama Pontianak yang berasal dari Bahasa Melayu ini dipercaya ada kaitannya dengan kisah Syarif Abdurrahman yang sering diganggu oleh hantu Kuntilanak ketika beliau menyusuri Sungai Kapuas. Menurut ceritanya, Syarif Abdurrahman terpaksa melepaskan tembakan meriam untuk mengusir hantu itu sekaligus menandakan di mana meriam itu jatuh, maka di sanalah wilayah kesultanannya didirikan. Peluru meriam itu jatuh di dekat persimpang Sungai Kapuas dan Sungai Landak, yang kini dikenal dengan nama Kampung Beting SKota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami' (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur.[g membelah kota disimbolkan di dalam logo Kota Pontianak.
Sejarah pendirian kota Pontianak yang dituliskan oleh seorang sejarawan BelandaVJ. Verth dalam bukunya Borneos Wester Afdeling, yang isinya sedikit berbeda dari versi cerita yang beredar di kalangan masyarakat saat ini.
Menurutnya, Belanda mulai masuk ke Pontianak tahun 1194 Hijriah (1773 Masehi) dari Batavia. Verth menulis bahwa Syarif Abdurrahman, putra ulama Syarif Hussein bin Ahmed Alqadrie(atau dalam versi lain disebut sebagai Al Habib Husin), meninggalkan Kerajaan Mempawah dan mulai merantau. Di wilayah Banjarmasin, ia menikah dengan adik sultan. Ia berhasil dalam perniagaan dan mengumpulkan cukup modal untuk mempersenjatai kapal pencalang dan perahu lancangnya, kemudian ia mulai melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Dengan bantuan Sultan Pasir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil membajak kapal Belanda di dekat Bangka, juga kapal Inggris dan Perancis di Pelabuhan Passir. Abdurrahman menjadi seorang kaya dan kemudian mencoba mendirikan pemukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ia menemukan percabangan Sungai Landak dan kemudian mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang makmur. Wilayah inilah yang kini bernama Pontianak.Pada tahun 1778, kolonialis Belanda dari Batavia memasuki Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpola. Belanda saat itu menempati daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal.[5]
Pada tanggal 5 Juli 1779, Belanda membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak atau Hoofd Plaatselijk Bestuur van Pontianak.[5]
Assistent Resident het Hoofd der Afdeeling van Pontianak (semacam Bupati Pontianak) mendirikan Plaatselijk Fonds. Badan ini mengelola eigendom atau kekayaan Pemerintah dan mengurus dana pajak. Plaatselijk Fonds kemudian berganti nama menjadi Shintjo pada masa kependudukan Jepang di Pontianak.Kota Pontianak terletak pada Lintasan Garis Khatulistiwa dengan ketinggian berkisar antara 0,1 sampai 1,5 meter diatas permukaan laut. Kota dipisahkan oleh Sungai Kapuas BesarSungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak. Dengan demikian Kota Pontianak terbagi atas tiga belahan.
Struktur tanah kota merupakan lapisan tanah gambut bekas endapan lumpur Sungai Kapuas. Lapisan tanah liat baru dicapai pada kedalaman 2,4 meter dari permukaan laut. Kota Pontianak termasuk beriklim tropis dengan suhu tinggi (28-32 °C dan siang hari 30 °C).
Rata–rata kelembaban nisbi dalam daerah Kota Pontianak maksimum 99,58% dan minimum 53% dengan rata–rata penyinaran matahari minimum 53% dan maksimum 73%.[10]
Besarnya curah hujan di Kota Pontianak berkisar antara 3.000–4.000 mm per tahun. Curah hujan terbesar (bulan basah) jatuh pada bulan Meidan Oktober, sedangkan curah hujan terkecil (bulan kering) jatuh pada bulan Juli. Jumlah hari hujan rata-rata per bulan berkisar 15 hari.[10]
Secara administratif, kota Pontianak dibagi atas enam kecamatan, yaitu Pontianak SelatanPontianak TimurPontianak BaratPontianak UtaraPontianak Kota, dan Pontianak Tenggara, yang kemudian dibagi lagi menjadi 29 kelurahan.
Pariwisata Kota Pontianak didukung oleh keanekaragaman budaya penduduk Pontianak, yaitu DayakMelayu, dan Tionghoa. Suku Dayak memiliki pesta syukur atas kelimpahan panen yang disebut Gawai dan masyarakat Tionghoa memiliki kegiatan pesta tahun baru ImlekCap Go Meh, dan perayaan sembahyang kubur (Cheng Beng atau Kuo Ciet) yang memiliki nilai atraktif turis.
Kota Pontianak juga dilintasi oleh garis khatulistiwa yang ditandai dengan Tugu Khatulistiwa di Pontianak Utara. Selain itu kota Pontianak juga memiliki visi menjadikan Pontianak sebagai kota dengan pariwisata sungai.
Pontianak juga dikenal sebagai tempat wisata kuliner. Keanekaragaman makanan menjadikan Pontianak sebagai surga kuliner. Makanan yang terkenal antara lain:
  • Air Tahu dan Kembang Tahu, yang dikenal juga dengan susu soya
  • Bakcang (ketan yang dikukus dan diisi daging ayam, sawi asin, kacang tanah, dan ebi, terkadang ditambahkan lauk lainnya)
  • Bakpao (sejenis roti yang diisi dengan kacang hijau, ayam, sapi, atau babi)
  • Bubur Pedas
  • Chai Kwe (semacam pastel berisi bengkuang, kuchai, talas, atau kacang; ada yang dikukus dan ada yang digoreng)
  • Hekeng (daging goreng yang dibuat dari udang)
  • Hu Ju (tahu yang dengan kuah berwarna merah yang asin)
  • Ie atau Jan atau onde-onde (sup manis yang dibuat dari tepung kanji dengan bola-bola kecil berwarna merah dan putih)
  • Ikan asam pedas (sup ikan dengan bumbu asam-pedas)
  • Kaloci atau kue mochi (kue yang dibuat dari tepung kanji dan luarnya diselimuti kacang tanah, wijen, dan gula)
  • Keladi
  • Kengci Kwetiau (kwetiau goreng dengan lauk sayuran)
  • Ki Cang (ketan yang dikukus, digolongkan kue dan cara menikmatinya dengan menaburkan gula)
  • Kuan Chiang (sejenis sosis, berwarna merah kehitaman)
  • Kue Bulan atau Gwek Pia (kue yang diisi dengan kacang hijau)
  • Kwe Cap (sup dengan kulit babi, semacam kwetiau, tahu, kacang, dan kadang-kadang ditambah daging)
  • Kwe Kia Theng (sup dengan isi jeroan babi)
  • Kwetiau (sejenis mie, ada yang goreng dan kuah)
  • Lemang (ketan yang dibakar)
  • Lempok Durian
  • Minuman Lidah Buaya
  • Nasi Ayam (nasi campur dengan kuah khas dengan lauk ayam, babi, sayur asam, dan timun)
  • Nasi Capcai (nasi dengan banyak jenis sayur)
  • Pacri Nanas
  • Pekasam
  • Peng Kang (sejenis lemper, diisi ebi)
  • Pindang
  • Pwe Ki Mue atau bubur pesawat (bubur yang ditambahkan telur, daging babi, dan lemak dengan cita rasa khas)
  • Sambal Goreng Tempoyak
  • Tau Swan (sup kacang hijau ditambah potongan-potongan kue yang digoreng dan mirip kerupuk ca kue)
  • Sio Bi (seperti siomay, namun memiliki cita rasa tersendiri dengan sausnya yang juga berbeda rasanya)
  • Sotong Pangkong
  • Tun Koi (sup sari pati ayam dengan kunyit dan ginseng)
  • Yam Mi (sejenis mie namun sangat kecil dengan lauk khas di atasnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar